Text
Membangun Peradilan Agama yang Bermartabat (kumpulan artikel pilihan jilid 2)
Jika membaca kembali secara kritis tentang wacana keperempuanan dalam fikih klasik, banyak sekali teks-teks misoginis yang oleh para mufassir dijadikan sebagai landasan teologis dalam merumuskan fikih, sehingga semakin memperkuat superioritas laki-laki atas wanita. Visi egalitarianisme Islam yang pada mulanya kokoh banyak yang terdistorsi. Hirarhi dan superioritas atas image wanita ini mendapat pembenaran normatif dalam soal-soal fikih yang lebih menguntungkan kaum laki-laki ketimbang wanita. Dalam konteks pewarisan, misalnya, wanita menerima separoh dari bagian pria ketika keduanya berada pada tingkatan yang sama dalam hubungan keluarga dengan orang yang meninggal (Q.S. 4:11 dan 176). Dari pernyataan al-quran tentang konsep kewarisan Islam di atas terjadi reduksi dalam pandangan-pandangan para mufassir abad ke VIII sebagi suatu determinasi ilahi yang tdiak memungkinkan bagi kita untuk menggugatnya berdasarkan epistimologi pengetahuan modern. Ketidakhadiran suara wanita dalam budaya di mana fikih itu dirumuskan diartikan sebagai ketiadaan peran substansial perempuan dalam Islam. Karena itu pembaharuan hukum kewarisan Islam berdasarkan kondisi kekinian merupakan hal elementer yang harus diupayakan untuk menciptakan keadilan tanpa diskriminasi. Sehingga teks-teks suci berkaitan dengan waris tidak diperlakukan secara kaku, jumud dan final. Tapi didialogkan berdasarkan pengalaman kontekstual dan perkembangan zaman, selaras dengan substansi ajaran Islam.
AMA201200-1 | 2X9.7 IND m | Perpustakaan PTA Makassar/rak-104 | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain