Text
Kompotensi peradilan agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah
Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia sesungguhnya sangat terkait erat dengan persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generis-nya. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka Kompetensi Peradilan Agama tidak menyangkut seluruh persoalaan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyyah) ditambah beberapa persoalan muamalah. kenyataan tersebut tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik penguasa dari masa ke masa. Karena latar belakang historis itu, peradilan Agama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan nikah, talak, rujuk saja.
Perubahan potensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak sebatas itu, Kompetensi Peradilan Agama juga bertambah ketika keluar PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah milik, terutama dalam ketentuan pasal 12. Bahkan, pada Tahun 1989, Kompetensi Peradilan Agama kembali mendapatkan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan undang-undang ini tidak saja memberikan keluasan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian kepada Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman, sehingga Peradilan Agama mulai mempunyai hukum secara sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai juru sita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan undang-undang.
EKO201001- | 2X4.6,HAS.k | Perpustakaan PTA Makassar | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain